Klinik Usaha : Koreksi Diri Untuk Kembangkan Usaha Lebih Maju



KLINIK USAHA : KOREKSI DIRI UNTUK KEMBANGKAN USAHA LEBIH MAJU
Oleh Soeksmono Atmowardojo

Banyak teman pelaku usaha yang saya kenal sering lupa mengenai impian, semangat, dan rencananya dalam menjalankan usaha. Kalau sudah sibuk dengan usahanya, yang terjadi adalah rutinitas tanpa makna. Tanpa makna? Maksudnya? Lhah iya tanpa makna, maksudnya kalau sudah sibuk dari pagi sampai sore bahkan menjelang malam, terus capek ya tidur. Dan kegiatan itu terus berulang, nah pertanyaan berikutnya, rutinitas itu memang dinikmati, ataukah jadi kebiasaan yang melelahkan, atau sebenarnya sadar namun tidak tahu mau bagaimana lagi?

Coba sekarang dipikir ulang, dan kira-kira pernah muncul tidak dalam pikiran kita selama ini seperti ini :
§       

  • §  Apa iya hidup saya “terjebak” dengan rutinitas seperti ini? Padahal saya juga ingin liburan, silaturahmi, atau agak santai lah bisa bangun siang atau ke tempat usaha saya siang.
  • §  Lha kalau saya sakit ternyata usaha ini tidak bisa jalan, wah gimana ya?
  • §  Lha kalau nanti saya meninggal, yang meneruskan usaha ini siapa ya?

Tuh hanya 3 pertanyaan saja di atas, pernah terpikir tidak?

Usaha yang berkembang, itu suatu karunia tersendiri, artinya usaha dan kegigihan dalam menjalankan usaha sudah benar di jalannya. Namun akan lebih baik lagi apabila kita sebagai pemilik dan pelaku usaha di saat sedang berhalangan, yang namanya usaha masih terus bisa dijalankan. Inilah keberhasilan usaha sesungguhnya (setidaknya menurut saya).

Banyak yang bangga dengan omzet dan profit yang dihasilkan, namun ketika pemiliki dan sekaligus merangkap sebagai pelaku usaha masih “terikat” dengan usahanya, ya harus hati-hati. Yuuk apa siy yang sebenarnya menjadikan pemilik usaha ini sangat “terikat” dengan usahanya, saya ungkap ya, ini bukan berdasarkan teori atau hasil baca buku lho, namun memang karena pengalaman saya. Baiklah saya lanjutkan :

  • Krisis kepercayaan, merasa sulit untuk percaya dengan orang.
  • Egosentris, bahwa ini semua kerja saya, tanpa saya tidak akan pernah bisa.
  • Tidak mau berbagi untung, mengoptimalkan semua keuntungan bagi dirinya.
Adakah yang sadar akan hal ini? Ataukah tutup mata?

Pelaku usaha yang memiliki sikap seperti di atas, meski usahanya bagus namun saya pribadi ragu bisa berlangsung lama. Saya belajar banyak dari beberapa orang mengenai hal ini, contoh pertama adalah seorang pengusaha ekspedisi udara. Dia merintis usahanya selama 10 tahun, dan bisa terbilang sukses, keuntungan bersih bisa mencapai 50 – 100 juta rupiah per minggu. Keluarganya hidup sangat berkecukupan, bahkan rumah tangga anak-anaknyapun dia yang biayai. Dia bilang, “Emang Papa buat siapa kerja?” Dia penuhi semua kebutuhan anak, menantu, dan istrinya bahkan cucunya. Namun yang memprihatinkan dia tidak pernah ajak anaknya untuk ikut terlibat ke dalam usahanya. Dia begitu “tenggelam” dengan segala rutinitas kesibukannya.
Setelah dia wafat, apa yang terjadi? Tidak ada yang tahu bagaimana melanjutkan usaha Bapaknya. Semua pelanggan diambil oleh koleganya, dan (masih untung) istrinya diberikan semacam uang pensiun setiap bulan sekitar 10 juta rupiah. Bayangkan apakah sebanding waktu dia masih hidup, sebulan bisa memperoleh bersih 400 juta? Yach tapi daripada tidak sama sekali?

Contoh yang kedua, ada seorang tukang bakso, dia merintis usaha sampai 20 tahun, dan di saat masih hidup setelah 15 tahun usaha, keuntungan bersih setiap hari dari hasil berjualan lebih dari 500 ribu rupiah, artinya sebulan minimal 15 juta rupiah ada di tangan dong. Setiap hari dia berjualan dan selalu bersyukur dengan segala rejeki yang diperolehnya. Hanya ketika ditanya siapa yang meneruskan, si Kakek hanya menjawab,”Apalah artinya kebanggaan seorang pedagang bakso? Saya hanya berharap anak-anak saya jadi orang, punya pekerjaan yang bisa diandalkan dan kehormatan.” Lhah waktu dia meninggal, usaha bakso tidak ada yang meneruskan, ada keponakan yang pakai tempatnya coba peruntungan, namun banyak pelanggan yang “kabur” karena tidak seenak sebelumnya. Lhah sekarang coba disimak, anak-anaknya ada tiga, semua punya pekerjaan syukur seperti yang diharapkan almarhum bapaknya, namun untuk dapat gaji 15 juta rupiah sebulan? Sepertinya yang sulung butuh waktu beberapa tahun untuk bisa menduduki posisi dengan gaji sebesar itu. Yach hidup memang penuh pilihan, nah kira-kira sekarang pembaca mau tidak mewarisi usaha bakso dengan pelanggan yang sudah “tetap” seperti itu dan untung bersih 500 ribu rupiah per hari alias 15 juta rupiah sebulan minimal? Apa bisa lebih besar lagi? Ya jelas bisa dung, bisa dengan cara buat cabang, bisa dengan cara buat franchise.

Sekarang contoh yang enak, pemilik usaha ini punya kepercayaan diri tinggi sehingga dia mau berbagi ilmu, berbagi keuntungan, dan mau percaya dengan orang. Dia pengusaha nasi goreng lumayan lama di Kota Semarang. Usahanya langgeng, yang bantu dia selama ini kalau pada saatnya menikah, dipersilahkan buka warung nasi goreng sendiri, dan penerusnya sudah disiapkan dari sekarang. Saat ini si pemilik usaha sangat menikmati hidupnya, ala kadarnya saja dia mengawasi usahanya, dan pengelolaannya sudah diserahkan penuh ke anak dan pegawainya. Dia banyak menghabiskan waktunya bersama teman-teman lamanya, beribadah, dan menikmati waktu bersama istri. Benar-benar menikmati hidup. Hehehe penasaran ya dengan pendapatannya, total bersih minimal setiap hari dia memperoleh 2 juta rupiah, namun itu belum berbagi dengan pegawainya. Pembagiannya adalah 70:30, jadi kalau hari itu dapat 2 juta rupiah, lima pegawainya dapat 600 ribu, dibagi dengan kesepakatan di antara mereka. 600 ribu rupiah yang buat pegawai itu untuk satu hari ya bukan buat sebulan.

Yuuk kita sebagai pelaku usaha sudah waktunya belajar memberikan kepercayaan ke orang, namun kasuistis ya, maksudnya lihat kondisinya juga, jangan langsung kasih kepercayaan penuh. Kasih kepercayaan ke orang, anak, atau saudara secara bertahap. Khusus untuk kepercayaan yang sensitif seperti rahasia bumbu, kontak pemasok utama, atau yang lain sekiranya sensitif, bisa kita siasati kok. Yang penting jangan sampai “terjebak” pada rutinitas, tahu arah pengembangan usaha kita, punya orang yang bisa dipercaya, menyiapkan generasi penerus, dan yang terakhir kita bisa menikmati hidup.

Yuuk koreksi diri usaha kita, klik link di bawah ini :

Aturan mainnya :
Tolong dijawab dengan jujur dari diri kita sendiri.
Score 4 untuk pilihan jawaban A, 3 untuk B, 2 untuk C, dan 1 untuk D. Total pertanyaan ada 17.
Selamat yang jumlah score-nya di atas 50.
Bagi yang masih di bawah 50, jangan berkecil hati, ayuuk perbaiki usaha kita demi masa depan diri dan keluarga.

Penulis merupakan penggiat dan pemerhati masalah-masalah UMKM. Sampai saat ini terus mengisi kegiatan pelatihan para pengusaha UMKM. Penulis dapat dihubungi via email : monocinde@gmail.com


Tidak ada komentar